Laki-laki berambut panjang itu bertekad. Meski baru berusia 19 tahun, dia telah berniat kuat. Keinginannya hanya satu: belajar seni. Jember, kota kelahirannya, dirasakan terlalu kecil. Tantangannya sedikit. Satu kota yang menjadi tujuannya. Jakarta. Aunur Rofik Lilfirdaus, lelaki itu, mengejar impiannya ke Bengkel Teater milik Rendra. Tak sempat belajar di sini, dia akhirnya terdampar di Bella Studio. ''Saya jadi music director, juga kepala keluarga. Kadang-kadang jadi asisten sutradara. Kita bikin tur banyak, ke Yogya, Semarang, pokoknya keliling terus main teater anak-anak,'' ucapnya. Teater dan musik ia tekuni. Namun, anak keempat dari lima bersaudara ini mengaku lebih banyak menulis syair. Belajar dari alam, tanpa pendidikan khusus. Prinsip pria kelahiran 18 Maret 1974 ini sederhana: musik adalah sekumpulan bunyi. Campur ini, campur ini, jadi harmoni. Tinggal kasih lirik. ''Kalau saya mikirnya harus gini, harus gitu, kapan saya berkarya? Dimulai saja apa yang ada. Takutnya keburu mati, tapi tidak sempat berkarya ha ha ha.'' Demo demi demo muncul, album demi album meluncur. Meski berakhir serupa: gagal lagi, gagal lagi. Namun, tekadnya tetap bulat. Tiada hari tanpa berkarya. Tapi, saat tidak punya uang, ia biasa menemui temannya, minta pekerjaan. ''Ditanya, kamu bisa apa? Bisa ngaji sama silat. Udah. Tidak mungkin, kan? Ya, sudah, kamu tenaganya saja dipakai. Kerja kasar.'' Bila uang terkumpul, bikin demo musik lagi. Namun, seperti biasa. Gagal lagi, bikin lagi. Semula ia memilih aliran musik rock, bergabung dalam band rock bernama Timor. Kelompok gang anak Jember ini berkali-kali mengirim demo lagu-lagu ke perusahaan rekaman, tapi tidak pernah tembus. Setelah melalui perjuangan yang berat, akhirnya lahir album Nyanyian Perjalanan, di bawah perusahaan rekaman Log Zhelebour. Sayang, album itu tidak beredar. Dia bikin album lagi dan memilih pindah ke perusahaan rekaman Airo milik Setiawan Djody. Sebagian besar syair dalam album berjudul Pasar Malam di Kepalamu itu ia tulis. Ada juga satu lagu yang syairnya dikerjakan bersama Rendra. Tak sampai di sini, dia kemudian berkolaborasi membuat album bersama Adi Adrian, personel NuKLa. Lalu, bikin album Tak Ada Habisnya yang diproduseri Pay, mantan anggota Slank. Tak menyerah, ia membentuk band. Sayangnya, grup musik ini tak kokoh. ''Sudah jadi lagu, cuma tidak keluar album.'' Keberuntungan itu datang dari sebuah tawaran. Boleh jadi tawaran ini tidak pernah terlintas di benaknya. Tawaran menyanyikan lagu-lagu religius. Berawal dari Tombo Ati. Setelah mengalami krisis panjang, tiba-tiba Agus Idwar dari grup Nasyid Snada menawari membawakan lagu Tombo Ati. ''Pertimbangannya, saya orang Jawa. Mungkin dia berpikir, kalau di nasyid ada orang kayak saya, insya Allah ada sesuatunya.'' Atas dukungan beberapa ustadz dan kiai, dia memberanikan diri membawakannya. ''Alhamdulillah, penjualannya luar biasa.'' Dari satu lagu itu yang dikompilasi di album Tausyiah Zikir Ustadz Arifin Ilham, kemudian dikompilasi lagi di album Obat Hati untuk Aceh. Setelah itu dia dipercaya menuliskan satu album sendiri, Istighfar. ''Saya nulis 9 lagu baru, Tombo Ati saya tarik ke situ.'' Tak dinyana, album itu laris di pasaran. Opick --nama kecilnya-- pun mulai dikenal publik. Terjual ratusan ribu keping, double platinum pun sudah digenggamnya. Opick merasakan, dari album itu dia diberi kemudahan untuk berproses. Yang lebih penting lagi, ''Belum pernah saya semudah menulis album Istighfar. Syairnya gampang, inspirasinya gampang, barokah semuanya. Kas bonnya gampang, matematikanya banyak. Luar biasa, barokah. Gampang semua, workshop-nya juga gampang. Istilahnya, kalau orang ngomong, Opick pindah kiblat langsung jadi gampang.'' Teman-teman saat bermain musik rock tidak kaget dengan kepindahan Opick ke musik religius. Mereka bisa memaklumi. Opick pun berterus terang, ''Saya orangnya kan dari dulu, meskipun gondrong tapi tidak macam-macam, tidak neko-neko. Jadi, ketika saya di religi, teman-teman saya merasa memang di situlah tempatnya. Jadi, selain mudah, semuanya mendukung.'' Laki-laki itu telah berusia 31 tahun. Rambutnya tidak lagi panjang. Bersamanya, ada sang istri Dian Firdaus dan kedua buah hati mereka. Penampilannya kian santun dengan peci yang senantiasa bertengger di kepala. Sang ibu, yang sempat tidak setuju dengan pilihannya bermusik, kini berbahagia. Komentarnya singkat, ''Alhamdulillah, anakku selamat sekarang.'' Bagi Opick, kesuksesan selalu dirasakan setiap selesai mengerjakan album. Dia bilang, ''Sukses bagi saya ketika album itu keluar seperti apa yang saya inginkan, apa adanya. Laku atau tidak, itu urusannya sama rezeki Allah. Kalau pun laku banyak, orang jadi suka kepada kita, itu sebagai efek dari apa-apa proses kita sehari-hari. Karena syair itu lahir dari proses kita sehari-hari.'' Kini, dia merasakannya sebagai fasilitas untuk mendekat kepada Allah. Inilah yang menjadi kendaraannya. ''Kalau pun kendaraan yang ini rusak, apakah saya nanti bisa pakai kendaraan yang lain, oh bisa. Tapi kebetulan, saya tidak punya banyak pemahaman ilmu yang lain, selain musik, dan itu sangat sedikit. Kata orang, menang wiridan, ora iso opo-opo, diwiridin iso. Kan dari segi ilmu, luar biasa bodohnya. Dari segi latihan atau dari amalnya sedikit. Ya, mungkin bisa begini karena Allah saja yang pengen men-setting kayak gini.'' Dia pun tidak mau bermimpi muluk. ''Impian saya cuma ada beberapa, salah satu yang paling saya kejar, selamat.'' Begitu pula kariernya bermusik. ''Sama seperti 10 tahun lalu, saya buat rock kemudian sekarang religi. Waktu rambut panjang saya tidak pernah terpikir bahwa saya bakal begini. Sama dengan 5-10 tahun mendatang, saya tidak paham. Yang jelas, bismillahirrahmanirrahim, saya coba berbuat yang terbaik, inci per inci, detik per detik. Apa yang saya punya saya kelola dengan sebagus-bagusnya. Ada pun, ada salah-salah, itu biasa, bunga-bunganya perjalanan saja.''